Selasa, 13 Juli 2010

Tata Cara Buang Air Besar dan Bersuci

ADAB BUANG AIR BESAR dan BERSUCI

Bagi orang yang hendak buang hajat, buang air besar atau buang air kecil, ada beberapa adab atau tata tertib yang harus diperhatikan, yang dapat disipulkan sebagai berikut :
1. Tidak membawa sesuatu benda yang memuat nama Allah kecuali jika dikhawatirkan hilang atau berupa tempat penyimpanan barang berharga. Hal ini berdasarkan hadits Anas :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَبِسَ خَاتَمًا نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَكَانَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَهُ . (رواه الأربعة)
“Nabi memakai cincin yang berukirkan tulisan Muhammad Rasulullah. Maka jika ia masuk kakus, cincin itu ditinggalkannya.” (Hadis Arba’ah)

2. Menjauh dan menyembunyikan diri dari manusia lebih-lebih di saat buang air besar, agar tidak terdengar suara atau tercium baunya. Demikian itu berdasarkan hadis Jabir, katanya :
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتىَّ يَغِيْبَ فَلاَ يُرَى . (رواه ابن مجاه)
“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah S.A.W dalam suatu perjalanan, maka beliau tidak buang air, kecuali bila telah menjauh sehingga luput dari pandangan mata.” (Hadis Ibnu Majah)
Dalam riwayat Abu Daud dinyatakan: “Bahwa Nabi bila mencari tempat buang air, ia pergi jauh-jauh.”
3. Membaca basmalah dan isti’azah ketika hendak masuk kakus dan ketika hendak mengangkat kain bila (buang air) ditempat terbuk, berdasarkan hadis Anas, katanya:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ .
“ Dengan nama Allah, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan jantan dan setan betina.”
Ketika hendak masuk kakus, dianjurkan untuk melangkahkan kaki kiri lebih dahulu dan kaki kanan, ketika keluar.
4. Menghindari bicara samasekali, baik berupa zikir ataupun lainnya. Jadi, ia tidak diperkenakan menjawab salam atau adzan. Terkecuali jika perlu sekali bicaraseperti meminta alat atau benda untuk menghilangkan najis. Jika ketika itu bersin, hendaklah ia memuji Allah dalam hati tanpa menggerakkan lidah. Hal itu berdasarkan hadis riwayat Ibn Umar :
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَبُوْلُ ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يُرَدَّ عَلَيْهِ . (رواه الجماعة إلاالبخارى)
“Seseorang melewati Rasulullah ketika beliau sedang buang air kecil. Orang itu member salam, tetapi beliau tidak menjawabnya.” (Hadis Jama’ah selain Bukhari).
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata :
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : لاَ يَخْرُجُ الرَّجُلاَنِ يَضْرِبَانِ الْغَائِطِ كَاشِفَيْنِ عَنْ عَوْرَتَيْهِمَا يَتَحَدَّثَانِ فَإِنَّ اللهَ يَمْقُتُ عَلَى ذلِكَ . (رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه)
“Saya mendengar Nabdi bersabda: ‘Janganlah dua orang laki-laki keluar/pergi ke kakus sambil membuka aurat dan bercakap-cakap, karena Allah mengutuk perbuatan demikian. (Hadis Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah).
5. Hendaklah menghargai kiblat. Karena itu ia tidak boleh menghadap kearahnya atau membelakanginya. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah :
أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذاَ جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلاَ يَسْتَقْبَلِ الْقِبْلَةِ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا . (رواه أحمد ومسلم)
“Rasulullah besabda : ‘Apabila salah seorang diantaramu duduk untuk buang hajat, janganlah ia menghadap atau membelakangi kiblat.’ ” (Hadis Ahmad dan Muslim)
Tetapi jika buang hajat didalam suatu bangunan atau hadapan orang itu terdapat tabir penghalang, maka hal demikian boleh dilakukan, karena ada Hadis Ibn Umar, katanya:
رَقَيْتُ يَوْمًا بَيْتَ حَفْصَةَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَلَى حَاجَتِهِ مُسْتَقْبِلَ الشَّامِ مُسْتَدْبِرَ الْكَعْبَةِ . (رواه الجماعة)
“Pada suatu hari saya memanjat ke rumah Hafshah, maka tampaklah olehku Nabi sedang buang hajat sambil menghadap kea rah Syam dan membelakangi Ka’bah. (Hadis Jama’ah).
Dari Marwan al-Asgar, Katanya : “Saya melihat Ibn Umar menghentikan kendaraanya menghadap kiblat dan ia kencing sambil menghadap kearah itu juga. Maka aku berkata kepadanya: ‘Abu Abdur Rahman, bukankah perbuatanmu itu terlarang?’ ‘Memang betul,’ jawabnya, ‘tetapi hal itu dilarang hanya bila ditempat terbuka. Maka jika diantaramu dengan kiblat terdapat sesuatu yang yang menghalangi, hal itu tidak apa-apa.’ ”(Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibn Khuzaimah dan Hakim. Sanadnya hasan sebagaimana tertera dalam alfath).
6. Hendaklah mencari tempat yang lunak dan menghindari tempat-tempat yang keras, agar ia tidak terkena cipratan kencing, najis ; berdasarkan hadis Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata :
أَتَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم إِلَى مَكَانٍ دَمَثٍ إِلَى جَنْبِ حَائِطٍ فَبَالَ وَقَالَ : إِذا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْتَدِ لِبَوْلِهِ . (رواه احمد وابو داود)
“Rasulullah pergi ke tempat yang lunak di sisi pagar, lalu buang air kecil, dan sabdanya: ‘Jika salah seorang diantaramu buang air kecil hendaklah ia emilih tempat untuk itu.’” (Hadis Ahmad dan Abu Daud).
7. Hendaklah menghindari lubang, agar tidak menyakiti binatang-binatang yang mungkin ada di dalamnya, hal inii berdasarkan hadis Qatadah yang bersumber dari Abdullah bin Sirjis, katanya:
نَهَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يُبَالَ فِى الْجُحْرِ قَالُوْا لِقَتَادَةَ : مَا يُكْرَهُ مِنَ الْبَوْلِ فِى الْجُحْرِ ؟ قَالَ : إِنَّهَا مَسَاكِنُ الْجِنِّ . (رواه أحمد وأبو داود وغيرهما وصححه ابن خزيمة)
“Rasulullah melarang buang air kecil pada lubang. Mereka bertanya pada Qatadah : ‘Kenapa dilarang kencing dilubang?’ Ia menajawab: ‘Sebab ia adalah tempat kediaman jin. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan yang lain, dan dinyatakan shahih oleh Ibn Khuzaimah).
8. Hendaklah menghindari tempat orang bernaung, jalan, tempat mengambil air dan tempat mereka berkumpul untuk berjemur atau menikmati sinar bulan. Hal ini berdasarkan hadis Mu’az, ia berkata :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : اِتَّقُوْا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ : الْبَرَازَ فِى الْمَوَارِدِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيْقِ ، وَالظِّلِّ . (رواه أبو داود ولأحمد عن ابن عباس زاد : "اَوْ نَقْعِ مَاءٍ")
“Rasulullah bersabda: ‘Hindarilah (buang hajat di) tiga tempat yang menjadi kutukan orang: Buang hajat di tempat mengambil air (sumur), tengah jalan dan tempat bernaung.” (Hadis Abu Daud dalam sebuah riwayat Ahmad yang bersumber dari Ibn Abbas, terdapat tambahan, “atau genangan air”).
Dari Abu Hurairah, katanya:
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : " اِتَّقُوْا اللاَّعِنَيْنِ " قَالُوْا : وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُوْلُ الله ؟ قَالَ : الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ . (رواه مسلم)
“Rasulullah bersabda: ‘Hindarkanlah menjadi kutukan orang-orang.’ ‘Siapakah yang dimaksud demikian Rasulullah?’ Tanya mereka. Beliau menjawab: ‘Ialah mereka yang buang hajat dijalanan atau tempat bernaung orang.’” (Hadis Muslim)
Dari Abu Hurairah, katanya: Saya mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ سَلَّ سَخِيْمَتُهُ عَلَى طَرِيْقٍ مِنْ طُرُقِ النَّاسِ الْمُسْلِمِيْنَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ . (أخرجه الطبرانى فى الأوسط والبيهقى وغيرهما)
“Barang siapa melepas hajat dijalanan, tempat kaum muslimin lewat, maka ia mendapat kutukan dari Allah, para Malaikat dan Manusia semua.” (Hadis Thabrani dalam al-ausath, Baihaqi dan lain-lain).
Dari Huzaifah bin Usaid, Nabi bersabda : “Barang siapa menyakiti kaum muslimin (karena buang hajat) dijalanan mereka pastilah ia mendapat kutukan mereka.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-kabir dengan isnad yang dinyatakan hasan oleh al-Munziri).
9. Hendaklah tidak buang air kecil di tempat mandi, juga pada air tergenang atau air mengalir, berdasarkan hadis Abdullah bin Mugaffal :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِى مُسْتَحَمِّهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ فِيْهِ فَإِنَّ عَامَّةَ الْوَاسْوَاسِ مِنْهُ . (رواه الخمسة. لكن قوله " ثم يتوضأ فيه " لابى داود وأحمد)
“Nabi bersabda: ‘Janganlah salah seorang diantaramu buang air kecildi tempat mandi, kemudian ia berwudlu disana. Sebab pada umumnya, godaan setan atau waswas itu berasal dari sana.’” (Hadis khamsah, tetapi kalimat “kemudian ia berwudlu disana” hanya terdapat dalam riwayar Abu Daud dan Ahmad).
Dari Jabir:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ. (رواه أحمد ومسلم والنسائى وابن مجاه)
“Nabi melarang buang air kecil pada air yang tergenang.” (Hadis Ahmad, Muslim, Nasa’I dan Ibn Majah).
Juga dari Jabir
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ يُّبَالَ فِى الْمَاءِ الْجَارِى. (رواه الطبرانى ورجاله ثقات كذا فى مجمع الزوائد)
“Nabi melarang buang air kecil pada air yang mengalir.” (Hadis Thabrani. Para perawi hadis ini dapat dipercaya, demikian keterangan dalam Majma’ az-Zawa’id ).
10. Hendaklah tidak buang air kecil sambil berdiri,karena bertentangan dengan kesopanan dan adat yang baik, disamping itu juga untuk menghindari percikannya. ‘Aisyah berkata: “Siapa mengatakan bahwa Rasulullah buang air kecil sambil berdiri, janganlah dipercaya. Beliau belum pernah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (Hadis Arba’ah. Menurut Tirmizi hadis ini adalah hadis terbaik dalam masalah ini).
Sementara itu, ulama mazhab Maliki membolehkan buang air kecil sambil berdiri, tetapi sambil duduk adalah lebih baik. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Huzaifah bin al-Yaman.
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِنْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: أُدْنُهُ. فَدَنَوْتُ حَتىَّ قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأُ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ.(رواه الجماعة)
“Nabi sampai ketempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu buang air kecil sambil berdiri. Aku pun pergi menjauh, tetapi beliau berkata: ‘Mendekatlah kemari.’ Maka aku pun mendekat hingga bediri dekat tumit beliau. Lalu beliau berwudlu dan menyapu kedua sepatunya.” (Hadis Jama’ah)
11. Wajib menghilangkan najis yang terdapat pada kedua jalan pelepasan, berdassarkan hadis riwayat ‘Aisyah:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ . (رواه أحمد وأبو داود والنسائى والدارقطنى)
“Nabi bersabda: ‘Jika salah seorang diantara kamu pergi buang air, hendaklah bersuci dengan tiga buah batu. Demikian itutelah cukup baginya.’” (Hadis Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Daruqutni).
Dari Anas:
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلاَمٌ نَحْوِى إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَغَنَـزَةً فَيَسْتَنْجِى بِالْمَاءِ. (متفق عليه)
“Ketika Rasulullah masuk kakus, aku bersama seorang anak yang sebaya denganku membawakan setimba air dan gayung, lalu beliau bersuci dengan air itu. (Mutafq ‘alaih).
Dari Ibn ‘Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ : إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيْرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَيَسْتَنْـزِهُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ. (رواه الجماعة)
“Nabi pernah melewati dua buah kuburan, maka sabdanya: ‘Kedua penghuni kuburan ini sedang disiksa. Mereka disiksa bukanlah karena perbuatan dosa besar. Salah seorang diantaranya ialah karena tidak mau bersuci dari kencingnya, sedanh yang lain karena suka mengadu domba.’” (Hadis Jama’ah).
Juga diriwayatkan dari Anas, secara Marfu’ :
تَنَـزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابَ الْقَبْرِ مِنْهُ. (أخرجه الدارقطنى )
“Bersucilah dari kencing, sebab pada umumnya siksa kubur berpangkal dari itu.” (Riwayat Daruqutni).
Menurut mazhab Hanafi, bersuci itu sunah mu’akkadah (sangat dianjurkan) berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah :
مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ، مَنْ فَعَلَ هذَا فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ لاَ، فَلاَ حَرَجَ. (رواه أبو داود)
“Barang siapa beristijmar (bersuci dengan batu), hendaklah dengan jumlah ganjil. Siapa yang melakukannya, maka ia telah berbuat baik. Dan jika tidak melakukannya, tidak apa-apa.” (Hadis Abu Daud).
Sebenarnya, bersuci dengan tiga buah batu buklanlah yang dimaksud oleh hadis ini, tetapi yang dimaksudkan ialah menghilangkan najis, baik dengan tiga biji, lima ataupun tujuh biji. Namun sebaiknya, sunah dengan jumlah ganjil.
12. Batu atau benda yang dipakai bersuci, jika seorang itu hanya bersuci dengan batu atau benda. Tidak menggunakan air, haruslah memenuhi persyaratan tertentu, sebagai berikut:
a. Hendaklah benda itu suci. Karena itu tidaklah sah bersuci dengan benda najis atau terkena najis. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Mas’ud, katanya:
أَتَى رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم الْغَائِطِ فَأَمَرَنِى أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ فَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ، فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَآتَيْتُهُ بِهَا، فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ :هذَا رِجْسٌ.(رواه احمد والبخارى واللفظ له)
“Ketika Rasulullah hendak buang air besar, ia menyuruhku mengambil tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua buah, lalu ku cari sebuah lagi tetapi tidak mendapatkannya. Maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diambilnya, tetapi tahi tadi dilemparkannya, katanya: ‘Ini najis.’” (Hadis Ahmad dan Bukhari, dan ini adalah redaksi Bukhari).
Juga berdasarkan hadis dari Abu Hurairah, ia berjata: “Rasulullah melarang bersuci dengan tulang atau tahi kering, dan sabdanya, ‘keduanya ini tidak dapat menyucikan.’” (Hadis Daruqutni dan dinyatakan shahih oleh Ibn Khuzaimah).
b. Hendaklah benda itu kesat atau tidak basah.
c. Benda itu tidak licin, seperti kelereng, kaca dan tulang. Hal ini berdasarkan keterangan yang bersumber dari Abdur Rahman bin Zaid, ia berkata: “Diakatakan kepada Salman al-Farisi: ‘Nabi telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu, sampai-sampai masalah kotoran.’ Ia menjawab: ‘Ya, benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika buang air kecil atau besar, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu dan bersuci dengan tahi kering atau tulang.’” (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Tirmizi).
d. Hendaklah batu atau benda lain yang digunakan bersuci itu tidak kurang dari tiga buah, berdasarkan hadis salman tersebut dan hadis lainnya. Tetapi menurut golongan Syafi’I, boleh atau cukup bersuci dengan tiga kali gosokan memakai satu buah batu persegi tiga.
13. Istinja’ atau bersuci dengan batu atau benda sejenis lainnya, disyaratkan najis kotoran tersebut belum kering dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya. Dan haram bersuci dengan benda yang dimuliakan seperti kertas yang bertuliskan tulisan-tulisan mulia (ayat al-Quran misalnya). Dan dimakruhkan dengan benda yang mengandung tulisan Arab, sebagai penghormatan kepada huruf-hurufnya. Juga dimakruhkan dengan kain sutera atau makanan hewan seperti daun-daunan dan lain sebagainya. Demikian pula, makruh dengan menggunakan benda-benda yang masih bisa dipakai menulis dan lainnya.
Apabila bersuci itu hendak menggnakan air dan batu sekaligus, maka persyaratan-persyaratan tersebut (point 12 dan13) tidak diperlukan. Beristinja’ atau bersuci dengan cara gabungan (memakai air dan batu) ini adalah cara yang terbaik, berdasarkan hadis riwayat Ibn ‘Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَأَلَ أَهَلَ قَبَاءَ . فَقَالَ: إِنَّ اللهَ يُثْنِى عَلَيْكُمْ؟ فَقَالُوْا: إِنَّا نُتْبِعُ الْحِجَارَةَ الْمَاءَ. (رواه البزار. وأصله فى أبى داود والترمذى فى السنن عن أبى هريرة)
“Nabi bertanya kepada penduduk Quba’ : Sesungguhnya Allah memuji kamu, gerangan apakah sebabnya? Mereka menjawab: kami selalu bersuci dengan batu dan air.” (Hadis Bazzar. Hadis ini dalam Sunan Abu Daud dan Tirmizi yang berasal dari Abu Hurairah).
Dari Nabi, ia bersabda: “Mengenai penduduk Quba’ ini telah turun ayat: Fiihi rijaalun yuhibbuuna an yatathahharuu (Didalam mesjid itu ada orang-orang yang senang untuk untuk selalu bersuci…at-Taubah [9]:108). Beliau menjelaskan: mereka senantiasa bersuci dengan air, maka turunlah ayat tersebut mengenai mereka.” (Hadis Ibn majah dan dishahihkan oleh Ibn Khuzaimah).
14. Hendaklah tidak bersuci dengan tangan kanan, demi menjaga kebersihannya dari menyentuh kotoran. Demikian pula, sebelum menyentuh najis (kotoran) dianjurkan agar jari-jari itu dibasahi air, supaya kotoran tidak selalu lekat. Demikian itu berdasarkan hadis Abdur Rahman bin Zaid yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya diatas. Dalam hadis itu disebutkan: “...kami dilarang bersuci dengan tangan kanan…”
Dari Hafsah, Ummul Mu’minin:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَجْعَلُ يَمِيْنَهُ لِأَكْلِهِ وَشُرْبِهِ وَثِيَابِهِ وَأَخْذِهِ وَعَطَائِهِ وَشِمَالُهُ لِمَا سِوَى ذلِكَ.( رواه احمد وابو داود وابن حبان والحاكم والبيهقى)
“Nabi selalu mempergunakan tangan kanannya untuk makan, minum, berpakaian, menerima dan member, serta tangan kirinya unutk selain hal-hal tersebut.” (Hadis Ahmad, Abu Daud, Ibn Hibban, Hakim dan Baihaqi).
15. Hendaklah menggosok-gosok tangan dengan tanah setelah bersuci, atau mencucinya dengan alat pembersih, agar hilang bau busuk yang melekat padanya, berdasarkan hadis Abu Hurairah, katanya:
كَانَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَتَى الْخَلاَءَ أَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فِى رَكْوَةٍ أَوْ تَوْرٍ فَاسْتَنْجَى ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى اْلأَرْضِ. (رواه ابو داود والنسائى والبيهقى)
“Apabila Nabi pergi ke kakus, aku membawakan kepadanya air dalam timba kecil atau dalam tempat yang terbuat dari kulit, maka beliau bersuci dan kemudian menggosokan tangannya pada tanah.” (Hadis Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi).
Ketika bersuci (cebok) dianjurkan untuk mengendurkan dubur sedikit kecuali kalau sedang berpuasa. Menurut ulama Syafi’I, hal tersebut adalah wajib.
16. Sebelum istinja’, hendaklah melakukan istibra’ lebih dahulu, yakni berusaha mengeluarkan sisa air kencing dan kotoran yang mungkin masih tertinggal di tempat pelepasan, sehingga menurut dugaan kuatnya pada tempat itu sudah tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bagi orang yang sudah membiasakan sesuatu cara dalam beristibra’, hendaklah dilakukannya, seperti berdiri, berjalan, berdehem atau melipat-lipatkan kaki. Hal itu berdasarkan riwayat ‘Isa bin Yazdad dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْتُرْ ذَكَرَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. (رواه احمد وابن مجاه والبيهقى )
“Bila salah seorang diantara kamu buang air kecil, hendaklah mengurut-urut zakarnya tiga kali.” (Hadis Ahmad, Ibn Majah dan Baihaqi).
Juga berdasarkan hadis tentang “dua penghuni kubur” seperti telah disebut di atas (lihat point 11).
17. Hendaklah tidak buang air besar atau air kecil di atas kuburan. Perbuatan ini diharamkan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرُقُ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصُ إِلَى جَلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مَنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ. (رواه مسلم)
“Rasulullah bersabda: ‘Sungguh, salah seorang diantara kamu duduk di bara api hingga terbakar pakainnya, bahkan sampai menembus kekulitnya, adalah lebih baik baginya daripada ia duduk diatas kuburan.’” (Hadis Muslim)
18. Dimakruhkan buang hajat dibawah pohon yang berbuah, atau biasa berbuah menurut ulama Syafi’i. Hal itu berdasarkan hadis riwayat Abdullah bin Umar:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ قَضَاءِ الْحَاجَةِ تَحْتَ اْلأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ وَضَيْقَةِ النَّهْرِ الْجَارِى.(رواه الطبرانى)
“Nabi melarang buang hajat di bawah pepohonan yang berbuah dan di pinggir kali yang airnya mengalir.” (Hadis Thabrani).
Demikian pula dimakruhkan menghadap matahari dan bulan yang sedang terbit atau terbenam, karena keduanya merupakan ayat atau tanda kekuasaan Allah. Juga dimakruhkan menghadap ke arah tiupan angin, agar ia tidak terkena percikan kencing yang menyebabkannya ia terkena najis. Disamping itu, di makruhkan juga berlama-lama duduk buang hajat dan melihat aurat tanpa ada keperluan.
19. Setelah selesai buang hajat dan keluar dari kakus, hendaklah mengucapkan do’a: Al-hamdu lillaahil ladzii adzhaba ‘annil adza wa ‘afanii, berdasarkan hadis dari Anas, katanya:
إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ قَالَ: اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى اْلأَذَى وَعَافَنِى.(رواه ابن مجاه)
“Apabila Rasulullah keluar dari kakus, hendaklah mengucapkan do’a: Al-hamdu lillaahil ladzii adzhaba ‘annil adza wa ‘afanii (Segala puji bagi Allah yang telah melenyapkan penyakit dariku dan yang telah menyehatkanku.” (Hadis Ibn Majah).
Atau mengucapakan:
اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِى أَذَاقَنِى لَذَّتَهُ وَأَبْقَى فِيَّ قََوَّتِهِ وَأَذْهَبَ عَنِّى أَذَاهُ.
Al-hamdu lillaahil ladzii adzaaqonii ladzdzatahu wa abqoo fiyya qowwatihi wa adzhaba ‘annii adzaah (“Segala puji bagi Allah yang telah merasakan kepadaku kelezatannya, meninggalkan dalam diriku kekuatannya dan melenyapkan dariku penyakitnya.”)
Do’a ini telah di riwayatkan dari Umar secara mrfu’.
Dari ‘Aisyah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ قَالَ: "غُفْرَانَكَ". (أخرجه الخمسة وصححه الحاكم وغيره)
“Nabi bila keluar dari kakus, mengucapkan “gufraanaka” ( Aku mohon ampunan-Mu).” (Diriwayatkan oleh Khamsah, dan dinyatakan sebagai hadis shahih oleh Hakim dan lainnya).